Sudah beberapa bulan diluncurkan, perusahaan media online yang saya dirikan belum memiliki kantor.
Sistem kerja saya dan teman saya pada awal-awal adalah dari warung kopi ke warung kopi. Modal kami berdua adalah laptop dan semangat.
Sebetulnya saya tidak enak membawa teman saya itu untuk merintis sebuah perusahaan media. Jabatan general manager yang saya berikan begitu dipaksa.
Namun entah kenapa, teman saya itu tidak pernah protes. Kebiasaan kami berdua berdiskusi. Tempatnya bisa di warung kopi, warteg, atau kantor instansi.
Saya mulai bangga karena media online yang saya dirikan mulai bisa diakses dengan beragam macam berita.
“Pak pimred masih sibuk nulis berita nih,” kata teman saya itu. Kemudian kami berdua tertawa bersama.
Selain tanpa kantor, media online yang saya dirikan tanpa wartawan. Saya sebagai pemimpin redaksi masih menulis dan meng-upload berita ke website.
Sedangkan teman saya sebagai general manager sama juga. Kami berdua masih belum paham soal redaksi. Apalagi soal model bisnis media online itu seperti apa.
Selama beberapa bulan ini saya menggunakan uang tabungan saya selama bekerja di koran untuk bertahan menghidupi perusahaan.
Terkadang kami patungan untuk sekedar membeli kelengkapan perusahaan. Saya katakan bahwa selama menjadi general manager, teman saya itu tidak saya perlakuan dan tidak mendapat intensif sebagaimana jabatan general manager.
“Yang penting kita eksis dulu mang,” kata teman saya itu.
“Mudah-mudahan ada proses,” kata saya. Terus terang saya sedikit agak pesimis. Namun karena teman saya begitu semangat saya jadi ikut semangat.
Walaupun dari awal saya mendirikan perusahaan media online ini tidak sesuai aturan baku pada umumnya sebuah perusahaan. Yakni harus ada badan hukum dulu, modal, kemudian karyawan, dan yang paling utama ada kantor. Saya tetap bertahan.
Untuk mensiasati saya terhindar dari konflik dan berakhir perusahaan saya dilaporkan ke dewan pers. Untuk saat ini saya sepakati bahwa berita harus pro pemerintah dan pengusaha.
“Bukannya media harus pro rakyat,” kata teman saya.
“Idealnya begitu. Itu untuk media berbadan hukum dan perusahaan media profesional mang,” kata saya.
“Hahaha.”
“Kalau kita selow aja dulu. Kalau kita ngritik takutnya kita ada yang laporin. Kenalah kita, mana badan hukum belum punya,” kata saya.
“Jadi media kita pro kapitalis dan penguasa. Hahaha.”
Setiap hari saya selalu menertawakan diri saya sendiri. Bukan karena hidup saya penuh humor. Tapi saya sudah bisa juga melihat isi Mediajabar.com pada awal-awal semuanya berita humas dari pemerintah. Tidak ada satupun berita yang mengkritisi.
“Dulu kamu itu di koran wartawan sangar. Pejabat pada takut kalau ketemu kamu. Takut dikonfirmasi,” kata teman saya.
“Sekarang saya istirahat dulu mang. Kan sekarang jabatan pimred merangkap CEO,” kata saya.
“Hahaha.”
Setelah memiliki sebuah perusahaan media online lokal. Kerja saya jadi semakin berat, namun penghasilan minim.
Tiap hari saya harus memastikan bahwa website Mediajabar.com terisi berita, dan website dalam keadaan performa baik. Namun disisi lain saya tidak mendapat intensif apapun.
Kami berdua, saya dan teman saya masih mencari-cari model bisnis media online lokal. Sejak pertama diluncurkan, belum ada pengiklan. Secara otomatis kami tidak dapat uang.
“Sabar mang, kan media baru. Orang belum pada kenal,” kata teman saya.
“Mudah-mudahan sengsara yang disengaja ini tidak begitu lama.”
“Hahaha.”
“Kalau pas tanggal gajian begini saya suka menyesal keluar dari koran mang,” kata saya.