BARU kemarin saya mengantar anak ke pondoknya kembali di Ponpes Al Basyariyah Cigondewah kabupaten Bandung.
Terasa ada yang berbeda dari biasanya dari cara menerima tamu pasca liburan masa pandemi covid-19 yang tak kunjung usai ini.
Kali ini berprotokol kesehatan yang ketat, pemilahan tamu, cara sopan petugas mengambil “hati” keluarga santri yang keukeh ingin mengantar anaknya sampai ke kamar.
Ada yang penulis perhatikan dengan seksama, sikap tak santai alias sibuk masing masing mengetahui jobnya sendiri, mengambil barang bawaan, menyemprot kendaraan, menunjukkan tempat adminiatrasi sampai mengarahkan para tamu pulang tanpa harus parkir berlama-lama dan tak ada 1 orang petugas dari kalangan santri ini yang asyik bermain handphone.
Penulis malah teringat kenangan lama saat mondok tentang kecekatan yang diajarkan pendiri pondok almamater saya ini.
Sejak berdirinya, Pondok pesantren Al Basyariyah mengajarkan cepat tanggap penuh perhatian (CTPP), zaman penulis masih mondok, buku agenda menjadi wajib diisi tentang apa saja yang disampaikan pemimpin pondok pesantren Drs KH Saeful Azhar.
Ketika itu, tak ada handphone, android, jika pimpinan pondok berbicara atau ceramah maka wajib ditulis, tak jarang diperiksa pimpinan pondok bahkan diberi sangsi jika tak membawa buku tersebut.
CTPP, santri era 90-2000 di Al Basyariyah, menyebutnya sebagai buku agenda yang penting dan wajib ditulisi apa saja yang menjadi perhatian pondok saat itu.
Kemanapun dibawa, bahkan tetap harus dibawa di jam shalat malam, karena pimpinan pondok saat itu memang menomorsatukan shalat malam dan bangun subuh bagi semua santri dan penghuni pondok.
Dulu waktu mondok malah tidak sadar jika jaringan otak manusia ternyata dapat diperbaharui dan ditingkatkan dengan cara yang mudah, yaitu belajar membaca dan menulis.
Efek baik dari ilmu ini bahkan mencapai bagian otak yang biasanya tidak diasosiasikan dengan proses membaca dan menulis.
Michael Skeide dari Max Planck Institute for Human Cognitive and Brains Sciences di Leipzig, Jerman, dan koleganya mengungkapkan hal itu setelah meneliti efek penemuan budaya, yaitu huruf, pada otak yang tidak pernah menulis dan membaca seperti ditulis Lutfy Mairizal Putra di laman Kompas.
Selain itu, Pakar analisis tulisan tangan, Deborah Dewi menjelaskan, rajin menulis dengan tangan akan membuat kemampuan kognitif seseorang semakin terasah.
“Ada perbedaan yang sangat signifikan antara memproses informasi dengan diketik dan ditulis. Tentu semakin sering seseorang menulis, bukan mengetik, maka area kognitif di otaknya semakin terasah.”
Hal itu diungkapkan Deborah dalam sebuah workshop yang dilaksanakan di kawasan M.H. Thamrin, Jakarta, Selasa (23/10/2018) yang dilansir laman Kompas.
Bandingkan dengan kebiasaan anak sekarang di zaman yang disebut dengan era digital ini, smartphone mengambil alih semua kebiasaan fisik, merampas permainan anak yang natural, membunuh literasi menulis khas anak zaman baheula.
Penulis meyakini betul, ada maksud yang terkandung dibalik semua simbol, slogan-slogan pondok yang dipasang di banyak tempat di pondok, kegiatan padat yang melelahkan santri memutar dan memerasa otak dan keringat jika dihubungkan dengan kegiatan dan karakter CTPP.
Sepanjang zaman prilaku dan karakter CTPP ini sepertinya takkan pernah tergantikan dengan kehebatan user smartphone sekalipun.
Literasi menulis, kepekaan alam bawah sadar dan otak kita tak bisa dibandingkan dengan smartphone yang kaku atau statis jika dianalisa berdasarkan sumber daya manusia (SDM).
Perilaku dan karakter CTPP tak dirasakan santri Al Basyariyah sekarang walaupun sejauh amatan penulis spiritnya terus hidup.
Perilaku CTPP yang pernah dirasakan santri Al Basyariyah di masa lalu kini teraktualisasi dalam sikap dan karakter di kehidupan mereka sendiri di masyarakat dengan profesi dan strata sosial yang berbeda-beda rakyat biasa.*
**Penulis Alumni Ponpes Al Basyariyah Angkatan-7.