ADANYA wacana penerapan denda bagi warga tak bermasker sebenarnya bukan hal yang istimewa, dalam menghindari krisis pandemi Korona ini pemerintah berupaya semaksimal mungkin membawa warga hidup sehat supaya terhindar penyakit wabah ini.
Soal denda, beragam pendapat saya dengarkan dari suara masyarakat yang mengungkap pendapatnya masing-masing. Yang setuju karena uang Rp. 100 ribu itu dinilai kecil.
Yang tidak setuju karena potensi pelanggaran yang sangat mungkin dilkukan orang-orang awam seperti di zona-zona hijau dlsb.
Urgensi denda sebenarnya lebih kepada pembinaan, namun upaya preventif lebih cenderung perlu dilakukan pemerintah melalui sosialisasi lebih visioner dan subtantif.
Maksudnya gak perlu didenda, diedukasi lebih keras lagi tanpa harus bersangsi uang, ditengah kesulitan warga sangsi denda uang bisa jadi hanya menimbulkan polemik baru seperti mal praktek, kongkalingkong dalam penerapan sangsi berupa denda di ranah hukum yang diakibatkan karena faktor institusional ataupun personal para penegak hukum sendiri.
Ingat! Korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi hantu birokrasi dalam penegakan hukum di Indonesia.
Apalagi ditengah kesulitan warga seperti yang terjadi saat ini tindakan persuasif terukur lebih diperlukan dengan pelibatan tokoh masyarakat, aparat keamanan dan semua elemen masyarakat, tanpa harus mendenda uang.
Kalau kata seorang warga,” Hade keneh dititah meli langsung wae maskerna di tkp dari pada didenda nepi ka Rp.100 Rebu cukup ker meuli beas jeung gas”.
Menghidupkan industri berbasis kerakyatan membuat masker untuk sendiri ataupun dijual di masyarakat juga menghidupkan gotong royong.*
Wallohu A’lam